sosialisasi
politik di negara demokrasi
Sosialiasi
politik dewasa ini telah memiliki beragam cara. Pemerintah menggunakan berbagai
inovasi baru untuk memberikan sosialisasi dari kebijakan politik yang
dirumuskan oleh pemerintah.
Sosialisasi politik memiliki definisi Proses dengan
mana individu-individu memperoleh pengetahuan, kepercayaan-kepercayaan, dan
sifat politik. Adapun
sebagai berikut beberapa definisi dari sosialisasi politik menurut para ahli,
yaitu sebagai berikut :
· Kenneth P. Langton
Sosialisasi politik dalam pengertian luas merujuk pada cara
masyarakat dalam mentransmisikan budaya politiknya dari generasi ke generasi
· Richard E. Dawson
Sosialisasi politik dapat dipandang sebagai pewarisan pengetahuan,
nilai-nilai dan pandangan-pandangan politik dari orang tua, guru, dan
sarana-sarana sosialisasi lainnya kepada warga negara baru dan mereka yang
menginjak dewasa.
· Dennis Kavanagh
Sosialisasi politik adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
proses di mana individu belajar tentang politik dan mengembangkan orientasi
terhadap politik.
· Prewitt dan Dawson
Sosialisasi politik didefinisikan sebagai proses bagaimana warga
negara memperoleh pandangan-pandangan politik yang merupakan perkumpulan cara
yang telah menjadi pegangan bagi kehidupan politik bangsanya.
Sosialisasi merupakan
salah satu fungsi dari system politik. Gabriel Almond mengatakan bahwa fungsi
politik terdiri dari 7 fungsi, yaitu :
1.
Fungsi Input (dilakukan infrastruktur
politik)
a. Sosialisasi dan rekruitmen politik
b. Agregasi kepentingan
c. Artikulasi kepentingan
d. Komunikasi politik
2.
Fungsi Output (dilakukan oleh
suprastruktur politik)
a. Rule making (pembuatan peraturan)
b. Rule application (pelaksanaan
peraturan)
c. Rule adjudication (peradilan)
Dari pemaparan tersebut jelas dikatakan bahwa sosialisasi
politik dilakukan oleh pemerintah atau mereka yang termasuk dalam infrastruktur
politik.
Sosialisasi politik memegang peranan penting bagi Negara
Indonesia yang menganut demokrasi. Demokrasi berasal dari kata demos,berarti
rakyat, dan kratein yang berarti kekuasaan atau pemerintahan. Demokrasi berarti
pemerintahan atau kekuasaan rakyat. Berikut pengertian beberapa ahli tentang
demokrasi :
· Miriam Budiardjo (dalam Philipus dan
Nurul Aini, 2006, hal 115) mengatakan bahwa demokrasi adalah system organisasi
politik dan social yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang
berpengaruh.
· Hoogerwarf (dalam Philipus dan Nurul
Aini, 2006, hal 115) mengartikan demokrasi sebagai cara membentuk kebijaksanaan
dengan member banyak kemungkinan para anggota kelompok untuk mempengaruhi
kebijakan itu.
Adapun tujuan demokrasi, menurut J.J Rousseu (1986, dalam
Philipus dan Nurul Aini, hal 116) tujuan demokrasi adalah membuat manusia dapat
hidup dengan baik. Oleh karena itu, biarkanlah manusia mengurus dirinya sendiri
dan menentukan apa yang menjadi keinginannya, jangan mereka dipengaruhi. untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat, maka dipilihlah seorang pemerintah atau
dengan kata lain pemerintah bekerja untuk rakyat maka harus ada control dari
masyarakat karena pemerintah seringkali lupa diri. Manusia yang ideal adalah
manusia yang murni dan lugu karena manusia yang pandai hanya menciptakan
malapetaka saja.
Sosialisasi politik di Negara demokrasi banyak dilakukan
untuk membuat individu mengenali sistem politik, yang kemudian menentukan sifat
persepsinya mengenai politik serta reaksi-reaksinya terhadap gejala-gejala politik (Rafael Raga Maran, 2007, hal 135). Proses dengan
mana individu-individu memperoleh pengetahuan, kepercayaan-kepercayaan, dan
sifat politik (Alex
Thio, 1989, 412)
Proses
sosialisasi politik berlangsung seumur hidup yang diperoleh secara sengaja melalui
pendidikan formal, non formal dan informal maupun tidak sengaja melalui kontak
dan pengalaman sehari-hari, baik dalam kehidupan keluarga dan tetangga maupun
dalam kehidupan masyarakat.
Seperti contoh sosialisasi politik sering kali dilakukan
oleh partai politik. mereka melakukan pendidikan politik melalui
kegiatan kursus, latihan kepemimpinan, diskusi dan keikutsertaan dalam berbagai
forum pertemuan untuk menyebarkan nilai, norma dan simbol yang dianggap ideal
dan baik.
Namun sisi lain dari fungsi sosialisasi politik partai ialah
upaya menciptakan citra bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum. Hal tersebut
sangat penting apabila dikaitkan dengan tujuan utama dari partai politik yaitu
menguasai pemerintahan melalui kemenangan dalam pemilihan umum. Karena itu
partai politik mencari citra sebagus mungkin untuk mendapatkan dukungan dari
masyarakat.
Dimensi lain dari sosialisasi politik adalah sebagai proses
yang melaluinya masyarakat menyampaikan budaya politik yaitu norma-norma dan nilai-nilai, dari suatu
generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian sosialisasi politik merupakan
factor penting dalam terbentuknya budaya politik suatu bangsa.
Tujuan dari sosialisasi politik itu sebenarnya mungkin ialah
mengajak masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam politik dimana itu sangat
penting dalam kehidupan di Negara yang menganut demokrasi yang dimana rakyatnya
yang berperan penting terhadap kemajuan di negaranya. Maka sosialisasi harus
dilakukan, masyarakat awam biasanya masa bodoh dengan apa itu politik karena
mereka berpikir tidak ada gunanya mengurusi hal yang masih tabu bagi mereka,
mereka menganggap politik itu hanya milik orang-orang yang ada dalam gedung
kepemerintahan, politik itu hanya milik orang berdasi dan membawa koper saja,
politik itu hanya milik orang yang taraf hidupnya tinggi, mereka tidak akan
berpikir bahwa mereka juga memiliki peran penting dalam perkembangan politik di
Negara kita. Masyarakat masih harus di berikan sosialisasi agar mereka ikut
berartisipasi dalam dunia politik.
Seperti yang dipaparkan oleh Milbrath dan Goel, dalam
piramida pola partisipasinya mereka memperlihatkan bahwa masyarakat di Amerika
dapat dibagikan dalam 3 kategori: antara lain: pemain (gladiators), penonton
(spectators), dan Apatis (apathetic), dimana dalam presentase nya pemain atau orang yang aktif dalan dunia politik
hanya 5-7% saja, penonton atau masuarakat yang menggunakan hak suaranya secara
minimal sebanyak 60%, dan masyarakat
apatis atau masyarakat yang sama sekali tidak menggunakan hak pilihnya sebanyak 33%. Terlihat jelas disana dimana
jumlah masyarakat yang aktif hanya berkisar 7% saja dari seluruh masyarakat di
Amerika dan sisanya menggunakan hak suara atau hak pilihnya secara minimal dan
bahkan tidak menggunakannya sama sekali.
Kembali ke Negara kita Indonesia, Negara berkembang ini
ialah salah satu Negara demokrasi yang ada sebagai konsekuensinya, di sini kita
sudah mengadakan pemilu sebanyak sepuluh kali yaitu pada tahun 1955, 1971,
1977, 1982, 1987, 1992, 1999, 2004, 2009. Secara spesifik dunia internasional
memuji, bahwa Pemilu Tahun 1999 sebagai Pemilu pertama di era Reformasi yang
telah berlangsung secara aman, tertib, jujur, dan adil dipandang memenuhi
standar demokrasi global dengan tingkat partisipasi politik 92,7%, sehingga
Indonesia dinilai telah melakukan lompatan demokrasi.
Namun memasuki awal reformasi tingkat partisipasi politik
menurun dimana dapat disimpulkan seperti itu karena meningkatnya jumlah golput
di Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa munculnya pemikiran apatis dari masyarakat
terhadap perpolitikan di Negara kita. Pemikiran ini sungguh sangat
mengkhawatirkan buat Negara kita karena dimana Negara kita menganut paham
demokrasi, namun para tokoh pemerannya tidak ikut berperan aktif didalamnya.
Ini dapat berimplikasi melumpuhkan demokrasi karena mersotnya kredibilitas
partai polotik sebagai pembangkit partisipasi politik.
Lalu setelah terjadi kenyataan seperti ini, maka timbulah
pertanyaan, “apa sebenarnya factor yang mempengaruhi sikap partisipan?”
jawabanya mungkin ada beberapa factor, antara lain:
· Pendapatan
· Pendidikan
· Pekerjaan
· Jenis kelamin
· Umur
Dimana biasanya masyarakat berpendapatan tinggi lebih aktif
dalam berpartisiasi daripada masyarakat berpendapatan rendah, orang
berpendidikan tinggi lebih aktif dibandingkan orang yang berpendidikan rendah,
pebisnis lebih aktif dibandingkan buruh atau pembantu, pria lebih aktif
disbanding wanita, setengah baya (35+) lebih aktif daripada orang berusia
dibawah 35 tahun.
Disinilah penting adanya sosialisasi politik yang berfungsi
untuk membuat individu mengenali sistem politik, yang kemudian menentukan sifat
persepsinya mengenai politik serta reaksi-reaksinya terhadap gejala-gejala
politik. Seperti contoh di amerika, sebagai
hasil riset survey ke dalam sosialisasi politik, David Easton dan Robert Hess
(dalam rush Michael dan Phillip Althoff, 2007, hal 51) mengemukakan, bahwa
disana anak usia tiga tahun sudah mulai belajar politik, dan memantapkannnya
pada usia 7 tahun. Tahap tahap awal, mereka menanamkan sikap patriotism yang
menjadi salah satu pondasi dari pembelajaran politik itu. Easton dan Hess
menemukan bahwa anak-anak yang muda memiliki kepercayaan pada “keindahan
negerinya” dan pada “kebaikan serta kebersihan rakyatnya.” Pendidikan awal itu
diikuti dengan pengenalan terhadap symbol-simbol yang dapat dilihat dari
otoritas umum seperti agen polisi, presiden, dan bendera nasional. Pada usia
Sembilan atau sepuluh tahun akan muncul lebih banyak kesadaran mengenai konsep
abstrak, seperti pemberian suara, demokrasi, kebebasan sipil, dan peranan warga
Negara didalam system politik. Semakin tua lagi anak-anak akan menjadi lebih
menyadari Presiden sebagai hirarki pemerintahan yang lebih kompleks.
Easton
dan Dennis (dalam rush Michael dan Phillip Althoff, 2007, hal 57) mengutarakan
empat tahap dalam sosialisasi diri anak-anak:
1. Pengenalan otoritas melalui individu
tertentu, seperti orang tua anak, presiden, dan polisi
2. Perkembangan perbedaan antara
otoritas internal dan yang eksternal,
yaitu antara pejabat swasta dan pejabat pemerintah
3. Pengenalan mengenai institusi –
institusi politik yang impersonal, seperti kongres, mahkamah agung, dan
pemilihan umum (pemungutan suara).
4. Perkembangan pembedaan antara
institusi – institusi politik dan mereka yang terlibat dalam aktivitas yang
diasosiasikan dengan institusi – institusi ini, sehingga gambaran yang
diidealisir mengenai pribadi-pribadi khusus seperti presiden atau seorang
anggota kongres telah di alihkan kepada kepresidenan dan kongres.
Ini mengidentifikasikan akan pentingnya sosialisasi politik
mulai dari anak usia dini untuk menanamkan sikap peduli akan apa yang menjadi
konsekuensi masyarakat demokrasi untuk memajukan Negara sejak kecil.
Selain itu media juga berpengaruh penting untuk ikut
mensosialisasikan kepada masyarakat akan pentingnya politik untuk kemajuan
Negara demokrasi. Dimana kita tau bahwa media massa merupakan alat utama untuk
menyebarkan informasi lantaran mudah mengaksesnya dan banyak jenisnya. Media
massa yang banyak digunakan antara lain: Koran, Televisi, dan Internet juga
berperan besar dalam pembentukan sikap masyarakat terhadap politik. Namun tidak
semua media massa membentuk sikap peduli akan politik, bisa juga media massa
membentuk sikap apatis dari masyarakat karena media massa tidak hanya
memberikan informasi yang baik, media massa juga tidak jarang memberi informasi
dari kejelekan politik yang membuat masyarakat tidak percaya lagi dengan apa
yang disebut dengan politik karena masyarakat berpikir untuk apa kita ikut
berpartisipasi politik sedangkan orang yang terlibat langsung atau kita sebut
politikus itu sendiri tidak mengurusi kita, sebagian dari mereka hanya
mementingkan kepentingan mereka sendiri tanpa mempedulikan cara apa yang mereka
lakukan. Maka tidak salah apabila masyarakat apatis mengatakan bahwa apa itu
politik, politik ialah perebutan kekuasaan, kecurangan, pembodohan massa,
licik, dan lain sebagainya.
Semua itu kita kembalikan kepada pola piker kita sendiri,
apabila kita inginkan kemajuan di Negara kita, kita harus ikut aktif dalam
memajukan Negara dan mau mengambil segala resiko dari apa yang kita lakukan.
Negara demokrasi ialah Negara yang mementingkan kehendak rakyat di atas
segalanya, jadi apabila kita sebagai rakyatnya tidak mau ikut berperan dalam
memajukan Negara sendiri bisa kita bayangkan bagaimana hancurnya Negara kita
ini nantinya.
contoh
sosialisasi politik
pemilihan kepala daerah merupakan
salah satu media penerapan budaya demokrasi.dalam kenyataannya, demokrasi di
indonesia masih banyak melakukan pelanggaran.untuk mengurangi terjadinya
penyimpangan praktek demokrasi, dan meningkatkan kesadaran berpolitik, perlu dilakukan
sosialisasi politik.
Budaya
Politik
Budaya politik adalah cara individu berpikir, merasa, dan bertindak terhadap
sistem politik serta bagian-bagian yang ada di dalamnya, termasuk sikap atas
peranan mereka sendiri di dalam sistem politik.
Orientasi/kecenderungan individu terhadap sistem politik terbagi 3, yaitu:
- Orientasi Kognitif - Pengetahuan atas mekanisme input dan output sistem politik, termasuk pengetahuan atas hak dan kewajiban selaku warganegara.
- Orientasi Afektif - Perasaan individu terhadap sistem politik, termasuk peran para aktor (politisi) dan lembaga-lembaga politik (partai politik, eksekutif, legislatif, dan yudikatif).
- Orientasi Evaluatif - Keputusan dan pendapat individu tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai, kriteria informasi dan perasaan, misalnya tampak saat pemilu.
- Orientasi kognitif adalah pengetahuan. Bagaimana individu mengetahui hak dan kewajiban warga negara di dalam konstitusi, bagaimana individu mengetahui tata cara pemilihan umum, bagaimana individu mengetahui partai politik dan aktivitas partai tersebut, bagaimana individu mengetahui perilaku pemimpin-pemimpin mereka lewat pemberitaan massa, merupakan contoh dari orientasi kognitif ini. Pengetahuan-pengetahuan ini bersifat tidak tetap. Pengetahuan bertambah atau tetap seiring dengan pengaruh-pengaruh dari lingkungan sekeliling individu.
- Orientasi afektif berbeda dengan orientasi kognitif, oleh sebab orientasi afektif ini bergerak di dalam konteks perasaan. Perasaan-perasaan seperti diperhatikan, diuntungkan, merasa adil, sejahtera, suka atau tidak suka, ataupun sejenisnya, kerap lebih menentukan ketimbang faktor pengetahuan. Oleh sebab itu, banyak pemimpin negara yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan populis (sifatnya populer) untuk mendongkrak aspek afektif warga negara. Di Indonesia, kebijakan-kebijakan seperti Bantuan Langsung Tunai, Askeskin, Pembagian Kompor Gas, dan sejenisnya bertujuan demi mengubah orientasi afektif warga negaranya. Tujuan akhirnya adalah, agar masyarakat merasa diperhatikan oleh pimpinan politik, dan mereka akan memilih para pemberi bantuan di kemudian hari.
- Orientasi Evaluatif merupakan campuran antara orientasi kognitif dan afektif di dalam bentuk keputusan/tindakan. Misalnya, setelah mengetahui bahwa partai A atau B memang benar menyuarakan apa yang mereka inginkan, individu memilih mereka di dalam suatu pemilu. Atau, sekelompok individu menggelar unjuk rasa untuk mendukung seorang calon yang tengah ‘diserang’ oleh lawan politiknya, semata-mata karena mereka merasa kenal dan sedikit tahu akan jatidiri si politisi termaksud. Orientasi Evalutif muncul akibat adanya pengaruh dari orientasi kognitif dan afektif.
- Budaya Politik Parokial.
- Budaya Politik Subyek
- Budaya Politik Partisipan.
1. Budaya Politik Parokial
Budaya politik parokial merupakan tipe budaya politik di mana ikatan seorang individu terhadap sebuah sistem politik tidaklah begitu kuat, baik secara kognitif maupun afektif. Di dalam tipe budaya politik ini, tidak ada peran politik yang bersifat khusus. Individu tidak mengharapkan perubahan apapun dari sistem politik. Ini diakibatkan oleh sebab individu tidak merasa bahwa mereka adalah bagian dari sebuah bangsa secara keseluruhan. Individu hanya merasa bahwa mereka terikat dengan kekuasaan yang dekat dengan mereka, misalnya suku mereka, agama mereka, ataupun daerah mereka.
Budaya politik parokial kentara misalnya, di dalam budaya masyarakat yang masih nomaden. Misalnya ini terjadi di kafilah-kafilah badui jazirah Arabia, suku-suku pedalaman Indonesia seperti Kubu, Dani, Asmat, Anak Dalam, dan sejenisnya. Contoh tersebut dalam pengertian fisik. Namun, dapat pula kita kembangkan parokialisme dalam pengertian lebih luas. Misalnya, dapat kita sebut bahwa sebagian warga Aceh yang hendak memisahkan diri dari Republik Indonesia sebagai menganut budaya politik parokial, oleh sebab mereka tidak mengidentifikasi diri sebagai warga negara Republik Indonesia.
2. Budaya Politik Subyek
Budaya politik subyek adalah budaya politik yang tingkatannya lebih tinggi dari parokial oleh sebab individu merasa bahwa mereka adalah bagian dari warga suatu negara. Individu yang berbudaya politik subyek juga memberi perhatian yang cukup atas politik akan tetapi sifatnya pasif. Mereka kerap mengikuti berita-berita politik tetapi tidak bangga atasnya, dalam arti, secara emosional mereka tidak merasa terlibat dengan negara mereka. Saat mereka tengah membicarakan masalah politik, cenderung ada perasaan tidak nyaman oleh sebab mereka tidak mempercayai orang lain begitu saja. Di ujung yang lain, saat berhadapan dengan institusi negara mereka merasa lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Budaya politik subyek banyak berlangsung di negara-negara yang kuat (strong government) tetapi bercorak otoritaritarian atau totalitarian. Misalnya, budaya ini banyak terjadi di Indonesia di saat pemerintah Presiden Suharto (masa Orde Baru). Di masa tersebut, orang jarang ada yang berani membincangkan masalah politik secara bebas, terlebih lagi mengkritik presiden ataupun keluarganya. Gejala seperti ini juga terjadi di Cina, Korea Utara, Kuba, atau sebagian negara makmur seperti Arab Saudi, Singapura, ataupun Malaysia, yang sistem politiknya belum sepenuhnya demokrasi.
3. Budaya Politik Partisipan
Budaya politik partisipan adalah budaya politik yang lebih tinggi tingkatannya ketimbang subyek. Dalam budaya politik partisipan, individu mengerti bahwa mereka adalah warga negara yang punya sejumlah hak maupun kewajiban. Hak misalnya untuk menyatakan pendapat, memperoleh pekerjaan, penghasilan, pendidikan, dan di sisi lain kewajiban untuk, misalnya, membayar pajak.
Dalam budaya politik partisipan, sering dan merasa bebas mendiskusikan masalah politik. Mereka merasa bahwa, hingga tingkatan tertentu, dapat mempengaruhi jalannkan perpolitikan negara. Mereka pun merasa bebas dan mampu mendirikan organisasi politik baik untuk memprotes ataupun mendukung pemerintah. Jika tidak mendirikan organisasi politik, mereka pun banyak bergabung ke dalam organisasi sukarela baik bersifat politik maupun tidak. Saat mengikuti pemilu mereka cukup berbangga hati.
Budaya politik partisipan utamanya banyak terjadi di negara-negara dengan tingkat kemakmuran dan keadilan yang cukup tinggi. Jarang budaya politik partisipan terdapat di negara-negara yang masih bercorak otoritarian, totaliter, ataupun terbelakang secara ekonomi. Atau, jika tidak makmur secara ekonomi, maka budaya politik partisipan muncul dalam sistem politik yang terbuka seperti Demokrasi Liberal.
Sosialisasi Politik
Michael Rush dan Phillip Althoff merupakan dua orang yang memperkenalkan teori sosialisasi politik melalui buku mereka Pengantar Sosiologi Politik. Dalam buku tersebut, Rush dan Althoff menerbitkan terminologi baru dalam menganalisis perilaku politik tingkat individu yaitu sosialisasi politik.
Sosialisasi politik adalah proses oleh pengaruh mana seorang individu bisa mengenali sistem politik yang kemudian menentukan persepsi serta reaksinya terhadap gejala-gejala politik. Sistem politik dapat saja berupa input politik, output politik, maupun orang-orang yang menjalankan pemerintahan. Fungsi sosialisasi menurut Rush dan Althoff adalah:
- Melatih Individu
- Memelihara Sistem Politik
Sosialisasi politik melatih individu dalam memasukkan nilai-nilai politik yang berlaku di dalam sebuah sistem politik. Misalnya di Indonesia menganut ideologi negara yaitu Pancasila. Oleh sebab itu sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi diberlakukan pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Ini merupakan proses pelatihan yang dilakukan negara terhadap warga negaranya. Pelatihan ini memungkinkan individu untuk menerima atau melakukan suatu penolakan atas tindakan pemerintah, mematuhi hukum, melibatkan diri dalam politik, ataupun memilih dalam pemilihan umum.
Selain itu, sosialisasi politik juga bertujuan untuk memelihara sistem politik dan pemerintahan yang resmi. Apa jadinya suatu negara atau bangsa jika warga negaranya tidak tahu warna bendera sendiri, lagu kebangsaan sendiri, bahasa sendiri, ataupun pemerintah yang tengah memerintahnya sendiri ? Mereka akan menjadi warga negara tanpa identitas, tentunya.
Dalam melakukan kegiatan sosialisasi politik, Rush dan Althoff menyuratkan
terdapat 3 cara, yaitu:
- Imitasi
- Instruksi
- Motivasi
Imitasi. Melalui imitasi, seorang individu meniru terhadap tingkah laku
individu lainnya. Misalnya, Gus Dur adalah anak dari K.H. Wahid Hasyim dan cucu
dari pendiri Nahdlatul Ulama, K.H. Hasyim Asy’ari. Gus Dur sejak kecil akrab
dengan lingkungan pesantren dan budaya politik Nahdlatul Ulama, termasuk dengan
kiai-kiainya. Budaya tersebut mempengaruhi tindakan-tindakan politiknya yang
cenderung bercorak Islam moderat seperti yang ditampakan oleh organisasi Nahdlatul
Ulama secara umum.
Instruksi. Cara melakukan sosialisasi politik yang kedua adalah instruksi. Gaya ini banyak berkembang di lingkungan militer ataupun organisasi lain yang terstruktur secara rapi melalui rantai komando. Melalui instruksi, seorang individu diberitahu oleh orang lain mengenai posisinya di dalam sistem politik, apa yang harus mereka lakukan, bagaimana, dan untuk apa. Cara instruksi ini juga terjadi di sekolah-sekolah, dalam mana guru mengajarkan siswa tentang sistem politik dan budaya politik yang ada di negara mereka.
Motivasi. Cara melakukan sosialisasi politik yang terakhir adalah motivasi. Melalui cara ini, individu langsung belajar dari pengalaman, membandingkan pendapat dan tingkah sendiri dengan tingkah orang lain. Dapat saja seorang individu yang besar dari keluarga yang beragama secara puritan, ketika besar ia bergabung dengan kelompok-kelompok politik yang lebih bercorak sekular. Misalnya ini terjadi di dalam tokoh Tan Malaka. Tokoh politik Indonesia asal Minangkabau ini ketika kecil dibesarkan di dalam lingkungan Islam pesantren, tetapi ketika besar ia merantau dan menimba aneka ilmu dan akhirnya bergabung dengan komintern. Meskipun menjadi anggota dari organisasi komunis internasional, yang tentu saja bercorak sekular, ia tetap tidak setuju dengan pendapat komintern yang menilai gerapak pan islamisme sebagai musuh. Namun, tetap saja tokoh Tan Malaka ini menempuh cara sosialisasi politik yang bercorak motivasi.
Agen-agen Sosialisasi Politik
Dalam kegiatan sosialisasi politik dikenal yang namanya agen. Agen inilah yang melakukan kegiatan memberi pengaruh kepada individu. Rush dan Althoff menggariskan terdapatnya 5 agen sosialisasi politik yang umum diketahui, yaitu:
- keluarga
- sekolah
- peer groups
- media massa
- pemerintah
- partai politik
Keluarga. Keluarga merupakan primary group dan agen sosialisasi utama yang membentuk karakter politik individu oleh sebab mereka adalah lembaga sosial yang paling dekat. Peran ayah, ibu, saudara, memberi pengaruh yang tidak kecil terhadap pandangan politik satu individu. Tokoh Sukarno misalnya, memperoleh nilai-nilai penentangan terhadap Belanda melalui ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai. Ibunya, yang merupakan keluarga bangsawan Bali menceritakan kepahlawanan raja-raja Bali dalam menentang Belanda di saat mereka tengah berbicara. Cerita-cerita tersebut menumbuhkan kesadaran dan semangat Sukarno untuk memperjuangkan kemerdekaan bagi bangsanya yang terjajah oleh Belanda.
Sekolah. Selain keluarga, sekolah juga menempati posisi penting sebagai agen sosialisasi politik. Sekolah merupakan secondary group. Kebanyakan dari kita mengetahui lagu kebangsaan, dasar negara, pemerintah yang ada, dari sekolah. Oleh sebab itu, sistem pendidikan nasional selalu tidak terlepas dari pantauan negara oleh sebab peran pentingnya ini.
Peer Group. Agen sosialisasi politik lainnya adalah peer group. Peer group masuk kategori agen sosialisasi politik Primary Group. Peer group adalah teman-teman sebaya yang mengelilingi seorang individu. Apa yang dilakukan oleh teman-teman sebaya tentu sangat mempengaruhi beberapa tindakan kita, bukan ? Tokoh semacam Moh. Hatta banyak memiliki pandangan-pandangam yang sosialistik saat ia bergaul dengan teman-temannya di bangku kuliah di Negeri Belanda. Melalui kegiatannya dengan kawan sebaya tersebut, Hatta mampu mengeluarkan konsep koperasi sebagai lembaga ekonomi khas Indonesia di kemudian hari. Demikian pula pandangannya atas sistem politik demokrasi yang bersimpangan jalan dengan Sukarno di masa kemudian.
Media Massa. Media massa merupakan agen sosialisasi politik secondary group. Tidak perlu disebutkan lagi pengaruh media massa terhadap seorang individu. Berita-berita yang dikemas dalam media audio visual (televisi), surat kabat cetak, internet, ataupun radio, yang berisikan perilaku pemerintah ataupun partai politik banyak mempengaruhi kita. Meskipun tidak memiliki kedalaman, tetapi media massa mampun menyita perhatian individu oleh sebab sifatnya yang terkadang menarik atau cenderung ‘berlebihan.’
Pemerintah. Pemerintah merupakan agen sosialisasi politik secondary group. Pemerintah merupakan agen yang punya kepentingan langsung atas sosialisasi politik. Pemerintah yang menjalankan sistem politik dan stabilitasnya. Pemerintah biasanya melibatkan diri dalam politik pendidikan, di mana beberapa mata pelajaran ditujukan untuk memperkenalkan siswa kepada sistem politik negara, pemimpin, lagu kebangsaan, dan sejenisnya. Pemerintah juga, secara tidak langsung, melakukan sosialisasi politik melalui tindakan-tindakannya. Melalui tindakan pemerintah, orientasi afektif individu bisa terpengaruh dan ini mempengaruhi budaya politiknya.
Partai Politik. Partai politik adalah agen sosialisasi politik secondary group. Partai politik biasanya membawakan kepentingan nilai spesifik dari warga negara, seperti agama, kebudayaan, keadilan, nasionalisme, dan sejenisnya. Melalui partai politik dan kegiatannya, individu dapat mengetahui kegiatan politik di negara, pemimpin-pemimpin baru, dan kebijakan-kebijakan yang ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar